HEADLINE NEWS

Kaderisasi Ulama Untuk Masa Depan Bangsa


Oleh : DR. Fahmi Salim Zubair, Lc. M.A
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam UHAMKA

tvberitaindonesia.com Jakarta - Bangsa ini berhutang budi dan jasa yang besar kepada para ulama. Kalau kita mau jujur, perjuangan kemerdekaan bangsa ini diraih karena awalnya digelorakan oleh para ulama. 

Merekalah yang telah menggerakan umat untuk melawan penjajahan. Peran mereka begitu besar sebagai guru bangsa, mewarisi tugas para nabi untuk memberi cahaya di tengah kegelapan, mengajak manusia untuk menyembah Alloh Azza wa Jalla, tanpa menyekutukan-Nya, dan menebarkan kebaikan dan ilmu yang bermanfaat kepada sesama. 

Namun, rupanya tak mudah untuk menemukan sosok ulama yang penuh teladan di tengah masyarakat yang serba materialistis. 

Beberapa waktu lalu, banyak ulama yang wafat. Sebelumnya, saya tak pernah mengalami begitu sering merilis poster takziah.

Ada ulama yang wafat dalam usianya yang sudah sepuh, tapi ada juga yang masih muda seperti Syekh Ali Jaber, ulama asal Madinah yang gigih dengan gerakan sejuta hafidz Quran.

Tentu kita harus bersedih ditinggalkan oleh para ulama, karena teringat dengan sabda nabi shallallahu alaihi wa sallam.

"Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama, sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan." (H.R. Bukhari dan Muslim).

Untuk menjaga umat berada dalam jalan yang lurus, maka para ulama harus hadir di setiap generasi. Tapi, sudahkah kita mempersiapkan generasi yang menjadi kader ulama di masa depan?

Kata ulama disebutkan dalam Al-Qur’an seperti dalam surat Asy-Syu’ara ayat 197, yang menceritakan tentang ulama dari kaum Bani Israil, mereka memahami isi kitab suci mereka (Taurat dan Injil), tapi tidak mengakui firman Allah yang mengabarkan tentang kedatangan nabi akhir zaman, penutup para nabi, yaitu Muhammad shallallahu alahi wa sallam.

Itulah model ulama yang tercela dan buruk, karena telah menyembunyikan hakikat kebenaran. Sedangkan dalam Surat Fathir Ayat 28, Alloh berfirman, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".

Inilah model ulama ideal, yang ilmunya tentang hakikat penciptaan alam semesta mengantarkannya kepada rasa takut kepada Allah. 

Takut akan siksa-Nya, takut melanggar larangan-Nya, dan termotivasi untuk terus menerus mawas diri dan menaati segenap aturan hidup yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya.

Dalam ayat lain disebutkan kriteria ulama, bahwa tugas mereka, sama halnya dengan para Rasul, adalah menyampaikan risalah dari Allah, hanya takut kepada Allah ta’ala semata dan tidak takut kepada siapapun jua dalam misi tabligh risalah itu (Q.S. al-Ahzab: 39). 

Ayat ini menjelaskan ciri utama yang dimaksud dengan ulama, yaitu mereka yang takut kepada Alloh hingga sempurnalah penghambaan mereka. 

Menurut Ibnu Abbas seperti dinukil Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ulama adalah orang yang mengetahui sesungguhnya Allah menguasai segala sesuatu, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, menghalalkan apa yang Alloh halalkan, mengharamkan apa yang Allah haramkan, menjaga wasiat-Nya, meyakini pertemuan dengan-Nya dan meyakini bahwa Allah akan menghisab amal yang telah dilakukannya. 

Padanan kata ulama sebenarnya banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadist. Mereka adalah orang-orang yang berilmu yang disebut juga 'ulul albab' (Q.s. Ali Imran: 190) dan 'ahlu dzikri' (Q.s. Al-Anbiya: 7). 

Mereka memiliki kedudukan istimewa, karena disandingkan dengan para malaikat dalam persaksiannya terhadap keesaan Alloh sebagaimana disebutkan oleh Ustadz Farid Okbah, mengutip surat Ali Imron ayat 18. 

Wawasan keilmuan seorang ulama harus bisa dibuktikan. Merujuk pada pendapat Imam Azzahabi, seorang ulama harus menguasai 500 kitab yang berkaitan dengan ilmu syariat.

"Jadi, ulama itu, bukan sekedar bisa berceramah," tegas Ustadz Farid Okbah. Ia harus menguasai ilmu agama secara lengkap hingga ia memiliki otoritas untuk berbicara tentang agama, sebagaimana dokter memiliki otoritas untuk bicara tentang kesehatan.

Namun, seorang ulama tak cukup dengan penguasaan ilmu agama. Menurut Ustadz Farid, mengutip pendapat Ibnu Rajab al-Hanbali bahwa seorang ulama  bukan ditentukan oleh seberapa banyak kitab yang ditulisnya, tapi diukur seberapa besar ketaatannya kepada Allah. 

Inilah yang disebutnya juga dengan istilah ulama robbani, seperti yang diungkapkan dalam firman Alloh, "….jadilah kalian orang-orang robbani karena kalian selalu mengajarkan kitab dan senantiasa mempelajarinya" (QS Ali Imron: 79).

Menjadi seorang ulama itu tak mudah. Tak cukup hanya  dengan menempuh pendidikan akademis formal, tapi ia harus membuktikan teladan dalam hidupnya dan dedikasinya dalam berdakwah.

Karena itulah, beberapa ormas Islam, seperti Muhammadiyah memiliki program khusus untuk mencetak kader ulama. Meminjam istilah Prof. Din Syamsuddin yang pernah menjabat Ketua Umum Muhammadyah bahwa kader adalah jantungnya organisasi, kaderisasi adalah nafasnya organisasi.  

Menurut KH. Ghofar Ismail, Ketua Divisi Kaderisasi Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, kebutuhan ulama di Muhammadiyah sangat penting, sesuai yang diamanatkan dalam surat Attaubah ayat 122 bahwa harus ada sekelompok yang mendalami agama (tafaqquh fiddin), lalu mereka kembali kepada masyarakatnya untuk memberikan pencerahan.

Ada tiga misi yang diemban oleh ulama, menurut KH. Ghafar Ismail yaitu:

  1. Harus mengajak kepada khoiru ummah (sebaik-baiknya umat).
  2. Membangun umat sebebagai ummatan  wasathon (umat yang moderat).
  3. Menjadi umat yang teladan dan menjadi saksi  bagi umat manusia. 
Untuk mencetak kader ulama, Muhammadiyah sudah menyiapkan 376 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, asrama mahasiswa di 30 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) beserta tujuh Ma’had 'aly dan program studi Keislaman di kampus-kampus Muhammadiyah. 

Selain itu, banyak kader Muhammadiyah yang juga tersebar di kampus-kampus Islam baik di Indonesia maupun luar negeri.

Meski demikian, kaderisasi ulama di Muhammadiyah bukan tanpa masalah. Karena, standar yang harus dipenuhi seorang ulama di Muhammadiyah sangat banyak. 

Selain harus menguasai berbagai cabang ilmu syariat, seorang kader ulama juga harus menunjukkan kesalehannya, terlibat dalam masyarakat dan memahami manhaj tarjih dan gerakan tajdid Muhammadiyah. 

Kader ulama tarjih yang diharapkan, tidak sekedar cerdik cendekia dalam ilmu keislaman, juga menjadi mujahid dakwah dan pembimbing umat. 

Mereka harus memiliki visi yang luas, jiwa kepemimpinan dan manajemen serta memahami persoalan-persoalan kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan serta perkembangan iptek.

Masalah regenerasi ulama menjadi isu lama yang sudah dibahas oleh Muhammadiyah, terutama untuk menyiapkan ulama tarjih. Sejak tahun 1968, Muhammadiyah mulai menjalankan program pendidikan ulama tarjih (PUTM). 

Di tingkat menengah, Muhammadiyah memiliki pesantren seperti Madrasah Muallimin dan Muallimat di Yogyakarta, dan Pesantren Darul Arqom, Garut. Sedangkan, di tingkat pendidikan tinggi, program ini diterapkan di berbagai kampus Muhammadiyah, seperti Universitas Muhammadyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan dan Universtas Muhammadiyah Malang. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, mereka wajib mengabdi selama 3 tahun. 

Program serupa dijalankan oleh ormas Islam, seperti Persatuan Islam (Persis). Program kaderisasi ulama, yang dimulai dengan mendidik para santri yang tersebar di 1.500 pesantren milik Persis.  

Pesantren dianggap sebagai tempat ideal untuk proses kaderisasi ulama, karena di dalamnya terjadi proses modeling atau uswah hasanah dari seorang kyai kepada santri-santrinya. Mereka tidak hanya belajar ilmu agama, juga mengenal bagaimana seharusnya  menjadi sosok  seorang kyai atau ulama. 

Namun, mencetak ulama itu, menurut KH. Amin Mukhtar, tidaklah mudah dan tidak bisa dilakukan secara instan, berbeda dengan mendidik seorang mubaligh. Seorang ulama terdiri dai tiga kategori, yang disebutnya sebagai ulama ensiklopedis, ulama spesialis dan ulama generalis. 

Untuk menyiapkan kader ulama juga dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan meluncurkan program Pendidikan Kader Ulama (PKU) sejak tahun 1985. 

Namun, pendidikannya bersifat non formal dan berlangsung singkat. Tentu, program ini menjadi pelengkap berbagai pengkaderan ulama yang dijalankan oleh ormas Islam dan lembaga dakwah lainnya. 

Setidaknya, PKU ikut berperan menyadarkan umat tentang peran pentingnya kehadiran ulama. Mereka tidak hanya harus memenuhi kualifikasi ilmu juga kualifikasi akhlak. 

Karena, ulama merupakan pewaris para nabi, sebagimana disebutkan dalam hadist, "Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak." (H.R. At-Tirmidzi).

Misi ini juga dijalankan oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang didiirikan oleh negarawan sekaligus ulama, yaitu Mohammad Natsir. 

Dewan Dakwah  lebih memfokuskan pada gerakan dakwah di pedalaman. Untuk menyiapkan kader dai, maka didirikanlah Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir.

Da'i yang tugasnya sebagai mubaligh tentu berbeda dengan ulama yang wawasan keilmuannya lebih luas. Ulama menjadi rujukan bagi masyarakat untuk berguru ilmu agama, Gelar ulama, yang kita kenal dengan istilah Kyai, Ajengan atau Tuan Guru merupakan pengakuan masyarakat terhadap otoritas keilmuan mereka. 

Tradisi keulamaan yang berkembang di lingkungan Nahdhatul Ulama, biasanya lahir dari keluarga pesantren. 

Dalam penelitian yang ditulis Hiroko Horikoshi dalam bukunya Kyai dan Perubahan Sosial, seorang ulama kemungkinan besar lahir dari keluarga ulama, dengan kata lain ia memiliki orangtua seorang ulama. Sehingga kader ulama tadi dapat melanjutkan keulamaan orangtuanya di tengah-tengah masyarakat. 

Seorang putra ulama lebih mudah mendapatkan pengakuan sebagai ulama daripada seseorang yang bukan putra dari ulama.

Ada juga pola keulamaan yang terbangun karena hubungan pernikahan. Seorang kyai memilih salah seorang santrinya yang unggul untuk dinikahkan dengan putrinya. 

Jika sang kyai tidak memilki anak laki-laki, maka mantunya diharapkan menjadi pelanjut kepemimpinan pesantrennya.

Pola lainnya seorang kyai pesantren menikahkan putra atau putri mereka dengan anak dari pimpinan pesantren lainnya. Model ini ini juga berkembang di pesantren tradisional untuk memperkuat tradisi keulamaan.

Seorang santri yang bukan keturunan ulama bisa menjadi seorang ulama. Karena,  ia telah menunjukan kredibilitasnya menguasai berbagai ilmu syariat, baik melalui jalur berguru ke berbagai pesantren atau melalui jalur formal pendidikan tinggi. Kemudian, ia aktif berceramah dan menjadi rujukan dalam berbagai persoalan di masyarakat. 

Ia pun mendirikan majelis ta'im, lembaga dakwah atau pesantren yang akhirnya ia mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai ulama.

Seorang ulama itu tentu lahir dari sebuah proses yang panjang. Mereka terseleksi karena kapasitas keilmuannya, akhlaknya dan pengabdiannya dalam berdakwah. 

Semua ormas Islam dan lembaga dakwah harus bekerjsama secara sinergis dalam merumuskan sebuah desain untuk mencetak kader-kader ulama. 

Semuanya membutuhkan pengelolaan yang intensif dan pendanaan yang besar.  Karena itu, masyarakat umum harus dilibatkan, antara lain dengan menggerakan dana umat untuk mendukung agenda besar yang sangat mendesak ini. 

Wallohu 'alam.



Previous
« Prev Post
Show comments
Hide comments